Presiden baru Cina, Xi Jinping lakukan kunjungan luar negeri pertama
dengan melawat ke Rusia. Sebuah tradisi politik untuk mendemonstrasikan
kokohnya kemitraan strategis.
Lawatan resmi Xi Jinping ke Rusia yang dimulai Jumat (22/03), merupakan
isyarat politik amat kuat untuk menegaskan hubungan baik kedua negara
komunis itu. Di Moskow, dia akan bertemu presiden Vladimir Putin, dan
terutama akan membicarakan penguatan bisnis serta ekspor energi ke Cina.
Tapi, hubungan diantara kedua negara tidak seharmonis yang hendak ditunjukkan para presiden itu. Perundingan bisnis ekspor gas misalnya, dilakukan dengan alot selama beberapa tahun. Hasilnya sejauh ini belum jelas.
Wakil menteri luar negeri Cina Cheng Daqing menyebutkan, kesepakatan akan ditandatangani dalam waktu dekat. Tapi seorang jurubicara Putin meredam kabar baik itu. Ia menyebutkan, saat kunjungan Xi, tidak ada dokumen bisnis gas yang siap ditanda tangani.
Sejarah hubungan Cina dan Rusia memang terus berubah tergantung situasi di Beijing dan Moskow. Cina mula-mula memandang Uni Sovyet sebagai panutan, kemudian menjadi musuh dan kini sebagai mitra bisnis strategis penting.
Bisnis dan Politik
Presiden Vladimir Putin menjelang lawatan ke Cina, Juni 2012 menulis dalam Harian Rakyat Cina: "Yang terpenting semua agenda global, tidak diputuskan di belakang punggung Cina dan Rusia, tanpa mengindahkan kepentingan kedua negara."
Konkritnya, politik ini diterapkan di Dewan Keamanan PBB. Cina dan PBB saling mendukung, jika tersandung masalah pelik yang merecoki kepentingan mereka. Misalnya dalam konflik Iran atau Suriah. Atau dalam masalah sengketa di Asia Timur.
Karena itu, Gu Xuewu, pakar politik dari Universitas Bonn melihat dengan jelas, bahwa agenda utama pembicaraan Xi Jinping di Moskow adalah penyelarasan strategis kedua negara. Dalam wawancara dengan DW, Gu menambahkan, agenda lainnya adalah hubungan perdagangan dan mempererat kerjasama militer , menimbang politik luar negeri AS yang kini difokuskan ke Asia.
Tapi Rusia juga memandang dengan cemas ke arah Cina, terkait dua hal. Pertama, masalah ekonomi, berupa ketergantungan warga Rusia di perbatasan Cina akan produk industri dan pertanian dari Cina, serta ancaman populasi yang terus meningkat.
Dan yang kedua, masalah dominasi politik global. Di saat Cina terus naik statusnya menjadi negara adidaya, Rusia makin merosot pamornya di dunia. Juga Xi Jinping sudah melontarkan peringatan saat kongres partai Komunis awal Januari lalu, agar Cina terhindar dari keruntuhan seperti Uni Sovyet di masa lalu.
Tapi, hubungan diantara kedua negara tidak seharmonis yang hendak ditunjukkan para presiden itu. Perundingan bisnis ekspor gas misalnya, dilakukan dengan alot selama beberapa tahun. Hasilnya sejauh ini belum jelas.
Wakil menteri luar negeri Cina Cheng Daqing menyebutkan, kesepakatan akan ditandatangani dalam waktu dekat. Tapi seorang jurubicara Putin meredam kabar baik itu. Ia menyebutkan, saat kunjungan Xi, tidak ada dokumen bisnis gas yang siap ditanda tangani.
Sejarah hubungan Cina dan Rusia memang terus berubah tergantung situasi di Beijing dan Moskow. Cina mula-mula memandang Uni Sovyet sebagai panutan, kemudian menjadi musuh dan kini sebagai mitra bisnis strategis penting.
Bisnis dan Politik
Presiden Vladimir Putin menjelang lawatan ke Cina, Juni 2012 menulis dalam Harian Rakyat Cina: "Yang terpenting semua agenda global, tidak diputuskan di belakang punggung Cina dan Rusia, tanpa mengindahkan kepentingan kedua negara."
Konkritnya, politik ini diterapkan di Dewan Keamanan PBB. Cina dan PBB saling mendukung, jika tersandung masalah pelik yang merecoki kepentingan mereka. Misalnya dalam konflik Iran atau Suriah. Atau dalam masalah sengketa di Asia Timur.
Karena itu, Gu Xuewu, pakar politik dari Universitas Bonn melihat dengan jelas, bahwa agenda utama pembicaraan Xi Jinping di Moskow adalah penyelarasan strategis kedua negara. Dalam wawancara dengan DW, Gu menambahkan, agenda lainnya adalah hubungan perdagangan dan mempererat kerjasama militer , menimbang politik luar negeri AS yang kini difokuskan ke Asia.
Tapi Rusia juga memandang dengan cemas ke arah Cina, terkait dua hal. Pertama, masalah ekonomi, berupa ketergantungan warga Rusia di perbatasan Cina akan produk industri dan pertanian dari Cina, serta ancaman populasi yang terus meningkat.
Dan yang kedua, masalah dominasi politik global. Di saat Cina terus naik statusnya menjadi negara adidaya, Rusia makin merosot pamornya di dunia. Juga Xi Jinping sudah melontarkan peringatan saat kongres partai Komunis awal Januari lalu, agar Cina terhindar dari keruntuhan seperti Uni Sovyet di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar